Manusia adalah makhluk yang suka (ber)cerita. “animal story telling”.
(Jhon Finkel)
Meskipun televisi menghadirkan banyak cerita, namun sebenarnya kita bercerita secara langsung (story telling) kepada anak atau orang dewasa sekalipun, tetap menarik perhatian. Karena biar bagaimana pun televisi (video) adalah televisi yang mempunyai banyak keterbatasan dan memiliki karakteristik sendiri. Sedangkan kita sebagai pencerita, memliki perasaan, bisa kontak langsung, menyampaikan dengan pandangan mata, seluruh anggota tubuh kita yang semua itu menggambarkan emosi tertentu. Di situ audience merasakan kehadiran Anda, sehingga audience merasa tentram, nyaman dan kehangatan hati ketika mendengarkan cerita Anda. Inilah yang tidak dimiliki “bahasa” televisi. Namun masalahnya, mampukah kita hadir bercerita secara menarik? Apalagi membuat pendengar Anda: STOP THE EARS AND STOP THE EYES! (Memukau).
Baiklah, sekarang kita perlu memahami terlebih dahulu beberapa hal penting sehubungan dengan cerita.
Cerita yang baik tentunya memiliki kualifikasi seperti berikut:
Selain unsur-unsur tersebut, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa cerita yang baik memiliki syarat-syarat: kerangka, adegan, pelaku, panggung dan waktu.
Penjelasannya:
Kerangka, garis besar atau rancangan dari sebuah cerita.
Adegan, bagian babak dalam lakon cerita.
Panggung: tempat terjadinya suatu peristiwa tertentu.
Waktu
Pemikiran ini hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pencerita. Lebih tepatnya, Anda dapat menemukan dan melakukannya sendiri sesuai dengan keadaan Anda.
Beberapa langkah yang dapat diusahakan untuk bercerita:
Bahasa tubuh: gerak tangan, jari, bahu, siku,
Mimik: sorot mata,
Suara: warna suara, intonasi, progresi, dinamika, nafas.
Tubuh dan suara, ketika Anda dapat memanfaatkannya secara tepat dan pada tempo, irama yang pas, maka akan sangat mendukung kejelasan cerita yang akhirnya cerita sangat, menarik..
Yang penting berceritalah dengan yakin dan menawan
Baik cerita yang disajikan secara lisan atau langsung oleh pencerita maupun lewat media audio visual, kemungkinan di bawah ini dapat menjadi pertimbangan untuk pendampingan kita.
Jika cerita yang telah dimiliki oleh pendengar, usai bercerita pencerita tidak perlu bersusah-susah memberikan kesimpulan-kesimpulan atau pesan-pesan yang sudah dirumuskan sendiri oleh pencerita itu. Pesan, wejangan, nasihat, petuah kepada pendengar tidak akan banyak menolong, sebab belum tentu sesuai dengan pengalaman dan konteks hidup pendengar. Pendengar sendirilah yang mengetahuinya. Cerita mana yang paling tepat untuk dirinya sendiri.
Tetapi bagaimana jika pendengarnya adalah anak-anak. Mungkinkah mereka (anak-anak) mampu membandingkan cerita yang telah dia miliki dengan pengalaman hidupnya? Sangat mungkin, hanya saja langkah-langkah atau cara “mengunyahnya” berbeda dengan pendengar cerita di kalangan orang tua / dewasa. Dengan memiliki cerita itu, anak sebenarnya memasukkan dalam-dalam cerita itu ke lubuk hati. Sebagai contoh kita bisa melihat pengalaman diri kita sendiri, cerita manakah yang masih bisa kita ingat sampai sekarang, ketika cerita itu kita dapatkan saat kita masih anak-anak dulu? Sadar atau tidak, cerita itu sebenarnya telah turut membentuk sikap kita. Bagaimana orang tua, guru kita dulu memberikan cerita-cerita rakyat, cerita binatang, cerita kehidupan bahkan cerita Kitab Suci sekalipun. Kata per katanya mungkin kita sudah tidak ingat lagi, tetapi alur cerita, tokoh-tokohnya, kejadiannya pastilah masih bisa kita ingat dengan baik. Bahkan “suasana” ketika orang tua kita dulu bercerita. Semua itu masih kita ingat dengan baik.
Meskipun demikian kita sering tergoda untuk menyampaikan wejangan-wejangan kepada anak-anak setelah cerita disampaikan. Kita menganggap bahwa anak tidak tahu sama sekali “makna/pesan” dari cerita itu. Maka kita merasa perlu menekankan pesannya. Jadi sebenarnya kita sendirilah yang merasa khawatir, seolah-olah anak tidak tahu sama sekali pesannya. Atas nama khawatir inilah kita terus memaksakan kehendak untuk “menjejalkan” suapan rumusan-rumusan pesan-pesan nasihat. Padahal cara ini sebenarnya justru melemahkan kreativitas anak untuk bersikap kritis terhadap realitas hidupnya. Anak biasa dituntun, dibimbing hingga sangat tergantung pada “pencerita”.
Maka langkah yang bijaksana setelah kita bercerita sebaiknya adalah menanyakan kembali apa yang telah mereka dengar dari cerita tadi: tokoh mana yang jahat, baik, bengal (mengenai tabiatnya)? Wujud atau bukti sikap tokoh yang jahat dan baik itu apa? Tokoh mana yang dipilih? Mengapa memilih tokoh itu? Dan seterusnya. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan itu diajukan bukan untuk mengarahkan anak pada rumusan pesan tertentu tetapi membantu anak untuk “mengunyahkan” atau membandingkan cerita dengan hidupnya.
Barangkali kisah berikut ini dapat membantu penjelasan di atas:
Seorang murid mengeluh kepada Gurunya:
“Bapak menuturkan banyak cerita,
tetapi tidak pernah menerangkan maknanya
kepada kami.”
Jawab sang Guru:
“Bagaimana pendapatmu, Nak,
andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu,
namun mengunyahkannya dahulu bagimu?”
Tak seorang pun dapat menemukan pengertian yang paling tepat bagi dirimu sendiri. Sang Guru pun tidak mampu.
(Anthony de Mello, Burung Berkicau, Jakarta, CLC: 1993).